Dalam suatu kesempatan saya membuka-buka kitab Bulûghul Amânî karya Syaikh Muhammad Mukhtaruddin Al-Falimbânî Al-Makkî, mata saya ditakjubkan oleh sebuah pernyataan penulis kitab tersebut bahwa ternyata ada beberapa guru Syaikh Muhammad Yâsîn Al-Fâdânî adalah ulama Salafi yang darinya pula Al-Fâdânî mempelajari kitab-kitab yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamâ’ah. Dan di antara sekian gurunya yang beraqidah Ahlussunnah adalah ulama asal negeri Nusantara yang menjadi bukti bahwa ternyata Ahlussunnah wal Jamâ’ah yang dewasa ini mulai menghiasi kaum muslimin di negeri ini bukanlah manhaj baru yang dibawa dan dikibarkan oleh ulama-ulama ‘kemaren sore’. Oleh karena itu saya tertarik untuk menulis dan mengenalkan ulama-ulama pengibar aqidah Salafiyyah di tanah Nusantara, terutama ulama yang hidup sebelum kemerdekaan.
Sampai sependek ini, saya belum menemukan bukti kesalafiyan Syaikh Zubair Al-Fulfulânî kecuali apa yang diriwayatkan oleh Syaikh Mukhtâruddîn Al-Falimbânî dalam Bulûghul Amânî, tepatnya di halaman yang ke-27. Dalam kitab ini penulis menyebutkan bahwa Syaikh Muh. Yâsîn bin Muh. ‘Isâ Al-Fâdânî pernah mempelajari beberapa kitab aqidah Ahlussunnah kepada Syaikh Al-Fulfulânî. Kitab-kitab aqidah yang dimaksud adalah:
Kitab Manzhûmah Al-‘Aqîdah As-Safârîniyyah, karya Imâm Muhammad As-Safârînî Al-Hanbalî –rahmatullâh ‘alaih-.Kitab Al-‘Aqîdah Al-Wâshithiyyah, karya Syaikhul Islâm Abul ‘Abbâs Ibnu Taimiyyah Al-Harrâni –rahimahullâh-.Kitab Kasyf Asy-Syubhât, karya Syaikhul Islâm Al-Mujaddid Muhamad bin ‘Abdul Wahhâb At-Tamîmî An-Najdî –rahimahullâh-.Dari keterangan ringkas ini kiranya kita sudah cukup mendapatkan bukti yang menujukkan kesalafiyyan aqidah Syaikh Zubair. Sebab, tidak mungkin dan mustahil ada seorang guru yang beraqidah selain aqidah Ahlussunnah mengajarkan kitab yang berhaluan dan bermanhaj salaf kepada murid-muridnya. Jika ada yang berkata, mungkin saja guru itu tidak mengajarkan isi kitab itu, mungkin saja untuk dibantahnya. Maka kita katakan, pernyataan ini jauh dari kebenaran. Karena penulis Bulûghul Amânî tidak memberikan keterangan tentang itu. Karenanya, sepantasnya harus dikembalikan ke asal hukum pengajaran, yaitu mengajarkan untuk diamalkan dan dipraktekkan.
Lalu, siapakah gerangan sosok jati ulama kita ini?
Baiklah, mari kita telusuri dan simak perjalanan hidup Syaikh Zubair.
Beliau bernama lengkap Zubair bin Ahmad bin Ismâ’il bin Ibrâhîm bin Muhammad Nûr Al-Fulfulânî (dalam Bulûghul Amânî tertulis: Al-Ghalfulânî) Al-Marîkî Asy-Syâfi’î yang lebih kondang dengan sapaan Al-Fulfulânî. Ulama yang pakar dalam bidang –di antaranya- faraidh (waris) ini dilahirkan di Malaya pada tahun 1324 H.
Perjalanannya dalam menimba ilmu dimulai dengan memasuki salah satu madrasahIslam di tanah kelahirannya itu. Di madrasah ini ia mempelajari dasar-dasar membaca dan menulis, menghafal Al-Qurân, serta seklumit ilmu fiqih. Selanjutnya ia melanjutkannya di Madrasah Islam Masyhûr pada tahun 1339 H. Di madrasah barunya ini, ia berguru kepada sejumlah ulama kenamaan, seperti Syaikh ‘Abdurrahmân Firdaus Al-Makkî, Syaikh Muhammad Râdhî Al-Makkî, Syaikh ‘Abdullâh Al-Maghribî, dan Syaikh Jalâluddîn Thêher Al-Minangkabawî (Al-Minkâbawî) Al-Falakî.
Bersama dengan beberapa kawannya, Al-Fulfulânî berangkat menuju negeri suci, Makkah, dalam rangka menuntut ilmu. Dalam kesempatan itu ia dan juga rekan-rekannya masuk Madrasah Al-Hâsyimiyyah di bawah perhatian Syarîf Husain bin ‘Alî. Tercatat sejumlah ulama yang darinya Al-Fulfulânî mempelajari ilmu, yaitu Syaikh ‘Umar Bajunaid, Syaikh Jamâl Al-Mâlikî, Syaikh Habibullâh Asy-Syinqîthî, Syaikh Muhammad Zaidân Asy-Syinqîthî, dan Syaikh ‘Umar Hamdân Al-Mahrasî –pakar hadits dua tanah suci-.
Selain di Madrasah Al-Hâsyimiyyah ini, Al-Fulfulânî juga belajar di Madrasah Ash-Shaulatiyyah dan lulus pada tahun 1349 H. Di antara gurunya di sini ialah Syaikh Rahmatullâh, Syaikh Muhammad ‘Alî Al-Mâlikî, Syaikh Mahmûd ‘Ârif Al-Bukhâri, Syaikh ‘Abdul Lathîf Al-Qârî, Syaikh Hasan bin Muhammad Al-Masyâth Al-Atsarî, dan Syaikh Mukhtâr Makhdûm. Di awal pemerintahan Kerajaan Saudi, beliau masuk di Ma’had Al-’Ilmî. Di tengah studinya di madrasah ini, beliau juga belajar di Masjidil Harâm dan di rumah-rumah para ulama selain ulama-ulama yang disebutkan di atas. Dan termasuk gurunya di Masjidil Harâm adalah seorang ulama Ahlussunnah yang bernama Syaikh Muhammad Bahjah Al-Baithâr Al-Atsarî.
Setelah dirasa mumpuni, Al-‘Allâmah Zubair bin Ahmad Al-Fulfulânî Al-Andunisi diberi izin mengajar di Masjidil Haram. Maka beliau pun mengajar dalam fiqih madzhab Syafi’i di sana. Pada tahun 1353 H, beliau ikut merintis Madrasah Dârul ‘Ulûm Ad-Diniyyah dan menjadi wakil kepala Syaikh Muhsin bin ‘Alî Al-Musawâ Al-Falimbânî. Dan pada gilirannya, beliau mengantikannya sebagai mudir (kepala) madrasah setelah wafatnya mudir yang pertama, sampai tahun 1359 H. Penulis Bulûghul Amânî menginformasikan bahwa beliau juga mengajar di Madrasah Ash-Shaulatiyyah.
Kemudian Syaikh Al-Fulfulânî kembali ke tanah kelahirannya dan bertinggal di sana, serta di madrasah-madrasah Islam. Maka beliau mengabdikan diri dengan mengajar di Madrasah Al-Hudâ, Madrasah Al-‘Ulûm Asy-Syar’iyyah, Madrasah Islam Al-Akhlâq, dan Madrasah Al-Idrîsiyyah sehinggah ditunjuk sebagai mudir di sana. Oleh karena itu, dari tangan beliau telah tulus banyak manusia-manusia berilmu.
Melihat kesibukkan Syaikh Al-Fulfulânî mengajar di madrasah-madrasah Islam itu, tentu kita dapat berasumsi dengan kuat bahwa dari situlah beliau menyebarkan dan mengibarkan aqidah Ahlussunnah wal Jamâ’ah karena memang di antara ciri Ahlussunnah adalah peduli terhadap sesama muslim yang kemudian diterjemahkan dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Dan sebesar-besar amar ma’ruf dan nahi munkar adalah dalam bidang aqidah yang merupakan asas dan pokok daripada ajaran yang dibawa oleh tidak hanya Nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, namun juga merupakan misi utama dakwah seluruh nabi dan rasul. Allah sendiri yang mengatakannya,
????? ??????????? ???? ???????? ???? ??????? ?????? ?????? ???????? ??????? ??? ?????? ?????? ????? ????????????
“Dan tidaklah kami mengutus seorang utusan sebelum engkau (Muhammad), kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Aku, maka sembahlah Aku (semata).” (QS Al-Anbiya’: 25)
Belitang Madang Raya,
Kamis 23 Ramadhan 1434 H
Refrensi:
A’lâmul Makkiyyîn, karya Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahmân Al-Mu’allimîAl-Jawâhir Al-Hissân fi Tarâjim Al-Fudhalâ’ wa Al-A’yân, karya Syaikh Zakariyâ bin ‘Abdullâh Bêlâ Al-IndunîsîBulûghul Amânî bi Syuyûkh wa Asânîd Musnidil ‘Ashr Asy-Syaikh Muhammad Yâsîn bin Muhammad ‘Isâ Al-Fâdânî, karya Syaikh Muhammad Mukhtâruddîn bin Zainal ‘Âbidîn Al-FalimbânîAl-Jawâhir Ats-Tsamînah fi Bayân Adillah ‘Âlim Al-Madînah, karya Syaikh Hasan bin Muhammad Al-Masyath Al-Makki, taqdim Dr. Abdul Wahhâb bin Ibrahîm Abû Sulaimân—
Penulis: Firman Hidayat
Artikel Muslim.Or.Id
==========
Silakan like FB fanspage Muslim.Or.Id dan follow twitter @muslimindo
==========
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di muslim.or.id dengan menyertakan muslim.or.id sebagai sumber artikelView the original article here
0 komentar:
Posting Komentar