View the original article here
Rabu, 25 September 2013
Kisah Cucu yang Naik ke Punggung Kakeknya, Apakah Benar Menginspirasi?
Kemarin aku diberi sebuah tulisan oleh suamiku. Tulisan ini membahas tentang perlu tidaknya pelajaran calistung diberikan kepada anak-anak usia TK. Dalam tulisan ini disertakan pendapat para ahli otak, yang menyatakan bahwa memang belum seharusnya anak TK diajari membaca, menulis, dan berhitung. Dikatakan bahwa pada usia TK, otak anak belum siap menerima hal-hal kognitif.Dalam tulisan ini juga mengutip sebuah kisah yang katanya sangat menginspirasi. Kisahnya kira-kira begini:Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang kakek yang sangat baik. Dia mempunyai beberapa orang cucu yang sangat disayanginya. Nah, pada suatu hari si kakek sedang melakukan sebuah ritual yang biasa dilakukannya. Pada saat si kakek sedang membungkukkan badannya sampai mencium tanah, tiba-tiba naiklah salah seorang cucunya ke atas punggungnya. Lalu si kakek lama menunggu cucunya turun dari punggungnya. Rupanya si cucu keasyikan bermain diatas punggung kakeknya itu. Setelah cucunya turun, barulah ia melanjutkan ritualnya itu.Dari kisah ini, sang penulis melihat bahwa sang kakek sangat mengetahui perkembangan otak seorang anak kecil, jauh sebelum para ahli mengetahuinya, sehingga dia membiarkan cucunya bermain di atas punggungnya sampai selesai. Kisah ini pula katanya menginspirasi kita bahwa jangan memberikan pelajaran calistung sebelum otak anak siap menerimanya, yaitu pada usia 7-8 tahun. Anak-anak usia TK sebaiknya lebih diutamakan kegiatan bermainnya.Bagi saya sendiri, apakah kisah ini benar menginspirasi? Saya sedikit terhenyak juga, ketika sadar bahwa semua orang pasti akan melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan si kakek, yaitu menunggu si anak kecil yang naik ke punggungnya. Mau orang bodoh, orang pintar, orang kaya, orang miskin, laki-laki maupun perempuan, bahkan orang pada zaman purba pun, secara naluri akan melakukan hal yang sama. Tidak mungkin kita langsung berdiri sehingga anak yang naik ke punggung kitapun pasti akan terjatuh, bukan?Lalu di mana letak keistimewaan kisah ini ya? Entahlah, yang saya tahu semua kakek-nenek secara umum sayang sama cucunya, katanya bahkan lebih sayang dibanding anaknya sendiri. Anak saya bahkan seringkali melakukan hal tersebut kepada bapak dan ibunya, karena memang permainan naik ke punggung itu sangat asyik bagi mereka. Tapi mungkin memang tokoh si kakek tadilah yang istimewa, sehingga hal-hal yang sebenarnya biasa dilakukan orangpun, dianggap sangat luar biasa dan dijadikan bahan rujukan istimewa.Atau, apakah kita yang tidak bisa membedakan mana kisah biasa dan mana kisah yang benar-benar luar biasa?Mungkin begitulah kenyataannya, terkadang ada kisah biasa yang dianggap orang luar biasa, dan sebaliknya ada kisah luar biasa yang dianggap biasa. Suatu peristiwa terkadang dimaknai secara berbeda oleh orang yang berbeda. Tiap orang sepertinya punya sudut pandang yang masing-masing, yang dalam kadar tertentu bisa membuatnya tidak objektif. Misalnya, pada kisah lain si kakek malah membantai 800 orang tahanan perang lalu dianggap sebagai peristiwa biasa oleh para pengagumnya, sementara bagi orang yang berbeda itu adalah kejadian luar biasa. Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar