Yang dilakukan pada hari Nahr (Idul Adha, 10 Dzulhijjah) oleh Jama’ah Haji adalah:
Melempar jumrah ‘aqobahMenyembelih hadyuMencukur rambut kepalaMelakukan thowaf ifadhohYang dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari ke-10 Dzulhijjah adalah melempar jumrah ‘aqobah, menyembelih hadyu, mencukur rambut kepala dan melaksanakan thowaf ifadhoh.
Melempar jumrah ‘Aqobah dilakukan setelah bertolak dari Muzdalifah. Melempar jumrah di sini termasuk wajib haji karena hal ini dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk mengikuti manasik yang beliau lakukan. Yang meninggalkan wajib haji ini terkena fidyah damm, yaitu menyembelih satu ekor kambing. Jika tidak mendapati, maka berpuasa sebanyak sepuluh hari, yaitu tiga hari saat haji dan tujuh hari saat kembali ke negerinya.
Cara melempar jumrah adalah dengan tujuh batu dan setiap lemparan digunakan satu batu. Jika ada yang melempar dengan tujuh batu sekaligus, berarti tidak sah dan hanya dianggap satu kali lemparan. Batu yang digunakan adalah batu kecil seukuran satu ruas jari, di mana batu tersebut tidak bisa memburu buruan dan tidak bisa pula mematikan musuh. Dan tidak boleh menggunakan batu besar karena termasuk bentuk ghuluw (berlebih-lebihan).
Ciri-ciri batu yang digunakan untuk melempar jumrah seperti batu khodzaf sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut. Dari ‘Abdullah bin Mughoffal radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang (berburu dengan cara) khodzaf[1]. Beliau bersabda,
???????? ??? ??????? ??????? ????? ???????? ???????? ???????????? ???????? ???????? ?????????? ?????????“Ia tidak dapat memburu buruan, tidak bisa mematikan musuh, ia hanya meretakkan gigi dan membutakan mata.” (HR. Bukhari no. 5479 dan Muslim no. 1954).
Jabir bin ‘Abdillah berkata,
???????? ?????????? -??? ???? ???? ????- ????? ??????????? ???????? ????? ?????????“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melempar jumrah dengan batu semisal batu khodzaf.” (HR. Muslim no. 1299)
Ketika melempar jumrah disyari’atkan mengucapkan takbir (Allahu akbar) setiap kali lemparan. Hukum takbir ini adalah sunnah dan bukan wajib. Dan ketika melempar digunakan tangan kanan dan bisa pula dengan tangan kiri, juga diperintahkan melempar bukan hanya membuang batu di kolam jumrah.
Saat melempar jumrah ‘Aqobah disunnahkan menjadikan Mina di sisi kanan dan Ka’bah di sisi kiri. Namun jika melempar dari posisi lainnya juga dibolehkan.
Disyari’atkan berhenti dari talbiyah ketika melempar jumrah. Cukup dengan ucapan takbir setiap kali lemparan. Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Dalam hadits Al Fadhl disebutkan bahwa beliau pernah dibonceng oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Jam’i sampai Mina, beliau senantiasa bertalbiyah sampai melempar jumrah. (HR. Bukhari no. 1685 dan Muslim no. 1282)
Waktu pelemparan jumrah ‘Aqobah adalah mulai tiba dari Muzdalifah dan waktunya terus berlangsung hingga terbit fajar hari pertama dari hari tasyriq. Jika ada yang melempar jumrah pada malam hari (setelah tenggelamnya matahari pada hari Nahr/ Idul Adha), lempar jumrahnya sah sebagaimana pendapat jumhur ulama.
Bolehkah melempar jumrah ‘Aqobah sebelum terbit Fajar (waktu Shubuh)?
Dibolehkan bagi orang yang lemah untuk melempar jumrah sebelum terbit matahari. Bahkan dibolehkan baginya ketika ia datang dari Mudzalifah untuk langsung melempar jumrah ‘Aqobah walau sebelum fajar. Demikianlah pendapat ‘Atho’, Imam Ahmad dan Imam Syafi’i yang membolehkan melempar jumrah ‘Aqobah sebelum fajar secara mutlak.
Yang tepat dalam masalah ini, disunnahkan melempar jumrah ‘Aqobah setelah terbit matahari berdasarkan sepakat para ulama. Ibnul Mundzir mengatakan, “Barangsiapa yang melempar jumrah ‘Aqobah sebelum fajar, ia tidak perlu mengulanginya. Dan tidak kuketahui seorang ulama yang mengatakan tidak sahnya.”
Hadyu adalah hewan yang disembelih sebagai hadiah untuk tanah haram. Hadyu diberlakukan pada jama’ah haji yang mengambil manasik tamattu’ dan qiron. Yang dianjurkan adalah menyembelih hadyu dengan tangan sendiri. Namun jika diwakilkan tidaklah masalah -seperti menitip uang pada bank-bank yang ada di sekitar jamarot-. Waktu penyembelihannya tidak diperbolehkan sebelum hari Idul Adha sebagaimana keterangan di sini. Disunnahkan shohibul hadyu untuk memakan dari hasil sembelihannya. Demikian pendapat Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Syafi’i menganggap tidak bolehnya shohibul hadyu memakan dari hasil sembelihan yang wajib. Yang tepat adalah pendapat bolehnya sebagaimana ditunjukkan dalam dalil.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukur rambut kepalanya setelah beliau menyembelih hadyu. Mencukur habis rambut kepala (disebut halq) lebih utama daripada sekedar dipendekkan (disebut taqshir).
Mencukur atau memendekkan rambut kepala di sini wajib dengan cara menyeluruh, bukan hanya sebagian rambut saja. Yang mewajibkan hal ini adalah Imam Ahmad dan Imam Malik. Dan masalah ini sebenarnya tidak ada nash (dalil tegas) mengenai wajibnya menyeluruh. Sedangkan Imam Syafi’i membolehkan mengambil tiga helai rambut saja. Namun yang lebih tepat tidak hanya sebagian rambut saja yang dipotong. Akan tetapi, jika ada di kalangan orang awam yang memotong sebagian ubun-ubunnya saja karena ia hanya taklid pada pendapat orang-orang di sekitarnya atau pendapat madzhabnya, maka tidak perlu diingkari dengan keras. Demikian inti dari perkataan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifiy -semoga Allah senantiasa menjaga beliau-.
Adapun untuk wanita, disepakati bahwa ia cukup memendekkan rambutnya, demikian sepakat para ulama. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa rambut wanita yang dipotong adalah satu ruas jari. Jadi, ia hanya memotong sedikit saja dari ujung rambutnya.
Setelah melempar jumrah ‘Aqobah dan mencukur rambut kepala, maka seseorang sudah dianggap tahallul awwal. Artinya larangan ihram sudah bisa dilakukan selain yang berkaitan dengan wanita. Jadi ketika itu sudah bisa melepas kain ihram dan bisa memakai baju bebas dan bisa pula memakai wangi-wangian. Barulah setelah itu, ia beranjak ke Masjidil Haram untuk menunaikan thowaf Ifadhoh yang merupakan rukun haji (berdasarkan sepakat ulama). Thowaf ini biasa disebut thowaf ziyaroh atau thowaf fardh. Dan biasa pula disebut thowaf rukun karena ia merupakan rukun haji.
Tidak ada akhir waktu untuk thowaf ifadhoh menurut mayoritas ulama. Kapan saja dilaksanakan, maka thowaf ifadhoh tersebut sah. Perselisihan ulama yang ada adalah apakah ada kewajiban damm bagi yang mengakhirkannya. Yang benar, tidak ada kewajiban damm sama sekali.
Waktu awal thowaf ifadhoh adalah pertengahan malam Idul Adha. Inilah pendapat Imam Ahmad dan Imam Syafi’i.
Dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah yang membicarakan cara manasik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dijelaskan bahwa beliau berkendaraan dan menuju Masjidil Haram untuk melakukan thowaf ifadhoh dan beliau melaksanakan shalat Zhuhur pada tanggal 10 Dzulhijjah tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu cepat dan bersegera menyelesaikan manasik-manasik yang ada. Ini menunjukkan bahwa kita disunnahkan untuk segera menyelesaikan berbagai manasik tersebut.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifiy -semoga Allah memberkahi umur beliau- mengatakan, “Jika salah satu dari amalan haji pada hari kesepuluh di atas dimajukan dari yang lain, maka tidaklah masalah. Jika seseorang menyembelih dulu sebelum melempar jumrah, atau mencukur sebelum menyembelih, atau melakukan thowaf ifadhoh sebelum melempar jumrah dan mencukur, maka tidaklah mengapa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan demikian dan beliau menjawab tidaklah mengapa. Namun yang disunnahkan adalah mengikuti sebagaimana yang beliau lakukan yaitu: melempar jumrah, lalu menyembelih, lalu mencukur, kemudian melakukan thowaf (ifadhoh).” (Shifat Hajjatin Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hal. 196).
Referensi: Shifat Hajjatin Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath Thorifiy, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H.
@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSA, 5 Dzulhijjah 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
[1] Khodzaf adalah melempar batu atau kerikil antara dua jari telunjuk atau antara ibu jari dan jari telunjuk atau antara bagian luar jari tengah dan bagian dalam ibu jari. Inilah sebagian pengertian khodzaf sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 15: 412. Istilah gampangnya adalah bermain ketapel.
==========
Silakan like FB fanspage Muslim.Or.Id dan follow twitter @muslimindo
==========
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di muslim.or.id dengan menyertakan muslim.or.id sebagai sumber artikelView the original article here
0 komentar:
Posting Komentar