Terdapat tiga pola pengajaran suatu bahasa di sekolah: (1) penggunaan bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar proses kegiatan belajar mengajar, (2) penerapan program dwi bahasa (bilingual), dan(3) pengajaran bahasa tersebut sebagai salah satu mata pelajaran. Dari sudut pandang teori pemerolehan bahasa, pola pertama dan kedua memang terkategori paling efektif, karena siswa langsung berada di lingkungan di mana bahasa itu digunakan. Siswa tidak hanya mendapatkan model penggunaan bahasa yang baik (comprehensible input), tetapi juga dipaksa untuk menggunakan bahasa tersebut secara aktif (pushed output) dalam berbagai macam pelajaran.
Sementara,pola pengajaran ketiga terkategori sebagai pola terlemah dalam pembelajaran bahasa. Ibarat seorang siswa belajar berenang, siswa hanya bertemu kolam renangdi saat jam pelajaran olahraga. Di luar jam olahraga, siswa hanyamengingat-ingat bagaimana caranya renang dan bagaimana bentuknya kolam renang.Tentu saja, belajar bahasa lebih kompleks dari analogi ini. Tetapi, memangaspek keberlanjutan pemakaian bahasa di luar jam pelajaran bahasa tersebut inilah yang sebenarnya paling krusial dan tampak hilang kalau pola iniditerapkan.
Merujuk pada ketiga pola pengajaran di atas, beberapa negara sudah mencoba menerapkan ketiganya dalam usaha pemertahanan bahasa daerah yang terancam punah dan berhasil. Di kawasan Yup’ik di negara bagian Alaska, misalkan, semua buku pelajaran kelas1-3 menggunakan Bahasa Yup’ik. Bahasa pengantar yang digunakan juga sepenuhnyadalam Bahasa Yup’ik. Hal ini sama dengan yang sudah diterapkan pada Bahasa Samidi Norwegia, Bahasa Maori di Selandia Baru, Bahasa Hawaii di Hawaii, danbeberapa kasus-kasus yang sama di negara-negara lain. Kemudian mulai kelas 4-6,program dwi bahasa mulai diterapkan, umumnya digunakan untuk transisi kepenggunaan bahasa nasional. Siswa-siswa lulusan dari sekolah-sekolah yang menerapkan kebijakan ini, kemudian secara tidak langsung akan memiliki kemampuan berbahasa daerah dan bahasa nasional yang sama baiknya ketika lulusdari sekolah dasar.
Bagaimana dengan pola pengajaran Bahasa Lampung di Provinsi Lampung? Sejauh ini, BahasaLampung hanya diajarkan sebatas sebagai mata pelajaran muatan lokal 2 jamseminggu di kelas IV-VI SD dan VII-IX SMP. Di kelas I-III SD, meskipunpemerintah menganjurkan pemakaian bahasa ibu dalam masa transisi penggunaanBahasa Indonesia, definisi bahasa ibu ini tetaplah rancu. Bahasa ibu diProvinsi Lampung tidak lantas bisa diterjemahkan sebagai Bahasa Lampung. DiBandar Lampung, misalkan, yang masyarakatnya terkategori majemuk, bahasa yangdipakai di rumah umumnya adalah Bahasa Indonesia. Sehingga, bahasa ibusiswa-siswa tersebut adalah Bahasa Indonesia. Di daerah lain, yang mayoritaspenduduknya ber-Bahasa Jawa, umumnya Bahasa Jawa digunakan di rumah danlingkungan keluarga. Sehingga, bahasa ibu mereka adalah Bahasa Jawa. Kemudianapabila penyebutan istilah bahasa ibu tersebut dimaksudkan untuk pelestarianbahasa daerah, mungkin benar adanya kalau kita bertanya bahasa daerah yang manadan oleh siapa.
Pertanyaannya kemudian adalah seberapa efektifkah pengajaran Bahasa Lampung yang diterapkandi sekolah selama ini dan apa saja kendalanya. Data Kantor Bahasa ProvinsiLampung tahun 2008, menyebutkan bahwa jumlah penutur Bahasa Lampung di kisaran angka 11.92%. Tentu ini menarik untuk melihat apakah jumlah ini mengalamipeningkatan atau justru penurunan setelah 5 tahun. Apakah, dengan diajarkannyaBahasa Lampung 2 jam di sekolah mulai kelas IV SD sampai IX SMP, jumlah penutur Bahasa Lampung kemudian bertambah?
Jawabannya sekali lagi, tentu tidak sesederhana itu. Karena yang diterapkan oleh sekolah-sekolah selama ini adalah kebijakan pengajaran Bahasa Lampung hanya sebagai mata pelajaran. Dalam pelajaran lain dan pergaulan di luar kelas, siswa tidak menemukan lagi tempat di mana mereka bisa menggunakan Bahasa Lampung. Sehingga, tujuan pengajaran Bahasa Lampung di sekolah untuk menghasilkan siswa yang cakap ber-Bahasa Lampung harus diakui tidak tercapai.
Hal ini sama dengan wacana Pemerintah Provinsi Lampung dan kabupaten-kabupaten di Provinsi Lampung, yang mengeluarkan kebijakan Bahasa Lampung diwajibkan atau dianjurkan untuk digunakan di kantor-kantor pemerintahan. Dengan asumsi bahwa 88.08 % masyarakatLampung tidak bisa ber-Bahasa Lampung, maka kebijakan ini juga akan menjadisebatas wacana tanpa penerapan nyata. Untuk itu, perlu dilakukan perencanaan kebijakan bahasa yang komprehensif apabila memang semua pihak masih merasa bahwa Bahasa lampung perlu dipertahankan.
Merangkum proposal Richard Ruiz (2013), setidaknya memang ada 4 langkah yang harus dilakukan pemegang kebijakan dalam usaha pemertahanan Bahasa Lampung. Pertama,Bahasa Lampung harus mempunyai status yang jelas, dalam hal ini aturan legal penggunaannya di ranah pendidikan, media, masyarakat, dan kantor-kantor pemerintahan(status planning). Kedua, pemerintah harus menetapkan standar baku Bahasa Lampung yang akan dipromosikan (corpus planning). Ketiga, pemerintahharus mempunyai rencana yang jelas bagaimana Bahasa Lampung diajarkan dan digunakan di sekolah, media, masyarakat, dan kantor-kantor pemerintahan (acquisition planning). Terakhir,pemerintah harus mencari cara bagaimana Bahasa Lampung dipromosikan dan mendapatkan sambutan baik dari masyarakat sehingga mereka mau mempelajari dan menggunakannya (attitude planning).
Apabila saya diperkenankan berandai-andai, yang akan saya lakukan adalah mengumpulkan semua pihak yang terkait dalam usaha pelestarian Bahasa Lampung untuk menstandardisasi Bahasa Lampung dialek A dan O, dan memetakan daerah mana saja yang akan menggunakan dialek tersebut. Kedua, saya akan memutuskan Bahasa Lampung menjadi bahasa pengantar kelas I-III SD dengan semua buku yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Lampung, dan dengan pola dwi bahasa dengan Bahasa Indonesia mulai kelas IV-VI SD. Dari kelas VII SMP sampai XII SMA, Bahasa Lampung bisa diajarkan hanya sebagai mata pelajaran. Buku-buku pelajaran dan koleksi perpustakaan, seperti majalah, buku cerita, film, dll. dalam Bahasa Lampung juga harus diproduksi sebanyak-banyaknya, agar siswa memiliki akses yang mudah untuk belajar Bahasa Lampung. Di media, saya juga akan melegalisasi 30-50%kontennya dalam Bahasa Lampung, sehingga masyarakat mau tidak mau membaca dan mendengar berita dalam Bahasa Lampung. Acara pemerintahan dan dokumenpemerintahan juga sebisa mungkin menggunakan dua bahasa; Bahasa Lampung dan Bahasa Indonesia. Secara perlahan, hal ini akan membantu masyarakat belajarBahasa Lampung dengan sendirinya. Kemudian yang terakhir, adalah mencetak guru-guru Bahasa Lampung dan guru-guru SD yang memiliki kemampuan mengajar dalam Bahasa Lampung yang berkualitas, sehingga semua program yang sayarencanakan bisa terimplementasi dengan baik di lapangan.
Tetapi sekali lagi, ini masih hanya sebatas pengandaian dan wacana-wacana saja. Apabila diterapkan, tentu mungkin masih ada sedikit harapan bahwa kepunahanBahasa Lampung hanya kekhawatiran para peneliti bahasa yang berlebihan. Apabila kembali ditanya apakah sekolah bisa membantu revitalisasi Bahasa Lampung? Jawabannya jelas, bisa. Dengan catatan bahwa apabila Bahasa Lampung hanya diajarkan sekedar sebagai salah satu mata pelajaran, dan bukan bahasa yang digunakan untuk belajar, maka yang dikenang siswa adalah sebatas hapalan kosakata dan aksaranya saja. Tetapi tentu saja, semua kebijakan-kebijakan ini sepenuhnya adaditangan pemerintah, yang memutuskan dan mengeluarkan kebijakan.
Lampung Post, 24 September 2013
View the original article here
0 komentar:
Posting Komentar