Pages

Rabu, 25 September 2013

Matahari Kecilku, Neira.

S-1 Peternakan UNDIP Angkatan 2012, anggota FLP Tembalang.

Ku buka perlahan pintu kamarku yang berwarna hijau itu. Terlihat di dalam kamar mama yang sedang  sholat malam. Aku menutup pintu lalu duduk di lantai menunggu mama selesai sholat. Tak lama, sosok yang aku tunggu pun datang. Dengan senyum yang selalu mendamaikan hatiku itu, terlukis pada wajah mama yang mulai mengeriput. Langkah kaki mama kini telah sampai di depan ku. Mama menyapa ku “Neira cantik, kok bangun?”.  Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum malu. Aku mendekap tubuh mama. Mendekap erat orang yang tak pernah aku ragukan kasih sayangnya. Terkadang rasa sombong ini muncul, rasa sombong yang selalu mengatakan bahwa hanya akulah yang mempunyai kebahagian ini. Aku terus memeluk mama. Dan mama pun memebalas pelukanku itu. Hangat, nyaman, dan damai….yah, itulah yang ku rasakan sekarang. Aku tertidur dalam pelukan sang mama.

Namun, pelukan itu kini harus aku bagi.

Setelah mama berpisah dengan papa tiga tahun yang lalu, mama memutuskan untuk menikah lagi. Dengan meminta izin pada kedua orang tua mama dan aku, pernikahan pun berlangsung di masjid Jami Nur Hikmah, Cilacap. Aku melihat senyum mama semakin lebar…dan semakin cantik. Aku tersenyum di balik keramaian para undangan.

Seminggu setelah penikahan mama, aku diajak untuk tinggal di rumah pak Herman, nama papa baru ku sekarang. Aku ingin menolak tapi aku takut mama akan sedih. Aku mengangguk pasrah. Aku tak tahu apa yang akan terjadi di kehidupan ku esok hari? Aku tak tahu…apakah esok hari aku masih bisa bercengkeramah dengan suasana desa nan sejuk ini? Dan para sahabat ku… Acli, Poez, Pita… apakah aku masih bisa melihat mereka saat pagi menyambut pagiku ??  sungguh aku tak tahu.

Mobil warna silver milik pak Heraman memboyong kami ke Bandung. Sesampainya disana, aku langsung masuk ke rumah tempat parkir mobil pak Herman. Aku merasa ada yang berbeda. Ku lihat sekitar, semuanya hampir sama…tak ada yang berbeda. “Mungkin disini lebih dingin” kata ku dalam hati.

Aku bengong ketika seorang gadis cilik seusia ku memanggil pak herman dengan sebutan “Ayah”. Aku melirik ke arah mama. Mama menyambut anak itu dengan senyum khas mama. Dan itu membuat ku sebal. “Siapa dia?” tanyaku penasaran.

“Ayo, masuk “ ajak anak gadis itu pada ku dengan nada sedikit manja. Tanpa senyum dan kata-kata, aku langsung mengikuti langkah mama dari belakang. Rupanya, kedatangan kami disambut oleh keluarga pak Herman. Semua orang terlihat penuh suka cita, tetapi tidak dengan ku.

Semua orang di ruangan itu sibuk menanyakan tentang mama, tapi tidak dengan ku. Layaknya orang jawa seperti pada umumnya, Mama menanggapi  pertanyaan itu dengan santun dan lemah lembut tak lupa senyum manis mama. “Mama liat aku disini, ma…mama…liat Neira,” pintaku dalam hati.

Usai bercakap-cakap, seorang wanita tua berkrudung cokelat pun mempersilakan kami untuk istirahat. Mereka meninggalkan kami. Kini hanya ada aku, mama, pak Herman, dan gadis cilik manja itu. “rasanya pengen deh, ngambil sapu terus nyapu si gadis cilik itu, terus… buang dia ke tempat sampah” ucapku masih dalam hati.

Sebulan tinggal bersama, tetapi rasa keterbukaan ku seakan lenyap. Aku jadi pemurung dan penutup. Aku tak seceria dulu karena pelukan mama telah terbagi. Setiap selesai sholat dan ngaji, aku menghabiskan waktu ku berlama-lama menyendiri di depan komputer. Menulis setiap peristiwa yang aku alami kemudian ku kirim tulisan itu pada salah seorang sahabat yang aku anggap paling mengerti keadaan ku. Semua perasaan ku aku tuangkan dalam setiap lembar kaca. Ternyata yang dulu Acli alami, sekarang menimpaku. Memiliki papah dan sodara tiri itu menyakitkan. Ke hadiranku  seolah menjadi pelengkap saja bukan sebagai anggota keluarga.

Di usia ku yang ke 18. Aku harus mengalami kejadian ini. Beruntunglah mereka yang mempunyai keluarga kandung. Setidaknya, mereka mempunyai ikatan persaudaraan yang erat tanpa ada rasa canggung menyelimuti hati.

Beberapa jam setelah surat ku terkirim, terlihat pesan masuk di facebook. Ku baca setiap kata dari pesan tersebut .

Untuk sahabat unyu ku, Neira…

Ra, tetap semangat dan tersenyum selalu ya?. Dunia ini keras…kaya batu di kali Cipicung yang gede-gede banget… tapi batu gede itu bisa pecah kok ra, kalo tiap hari kita pukulin tuh batu, lama-lama juga pecah …. Rara cemungut iaaa?

Dari

Acli sisipoez 507

Aku membalas pesan tersebut

“Iya cli…. Aku harus tetap semangat dan tersenyum untuk memecahkan batu dalam hidup ku”.

Air mata menetes perlahan. Ku ambil sampu tangan warna hijau muda di sampingku, ku usapkan pada pipi cabi ku. “Iyah, aku harus memecahkan batu dalam hidupku secara perlahan-lahan”… memecahkan perasaan terkucilkan ini dan mengubur rasa egois ini karena aku bukan anak kecil lagi sekarang” kata ku sambil melog-out facebook.  Kemudian memulai bercengkeramah dengan dunia nyata ku. Dunia yang akan menyediakan peluang untuk membuat keluargaku akan menghargai kehadiranku.

Pengumuman kelulusan siswa-siswi SMA menjadi momok yang menakutkan bagi kami para siswa-siswi yang telah usai melaksanakan Ujian Nasional. Tapi atas izin Alloh SWT, Susana pun berubah menjadi indah… keluargaku (mama, pak Herman, Amira alias gadis manja itu) tersenyum kepadaku. Mereka menjabat tanganku. “Hebat” kata pak Herman. “Iyah, makasih pah”. Aku mengucapkan kata itu meski malu-malu. “Apah ? pah?”. Pak Herman kaget di balik senyumnya.. “Kakak, selamat ya” ucap Amira dengan nada manjanya. “Iya de…makaciiih ya ade ku” balas ku dengan nada manja juga. Semuanya tertawa…semuanya telah berubah.. “Jangan lupa, belajar lagi ya? Buat SNMPTN 2012 nanti” saran mama pada ku… “Iya mama”.          ^_^

Buah Karya : Dewi Purwati

13801637001429850758



View the original article here



Peliculas Online

0 komentar:

Posting Komentar