Pages

Rabu, 25 September 2013

Demo Anti Lurah Susan: Siapakah yang Sesungguhnya Mengingkari Perjuangan Pendiri NKRI Ini?

Rupanya sebagian kecil warga yang mengaku dari Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, masih belum puas sebelum kehendak mereka dipenuhi oleh Lurah Susan Jasmine Zulkifli, atau atasannya Gubernur DKI Jakarta, Jokowi. Yaitu,  Lurah Susan harus pindah dari Kelurahannya, atau setidaknya tidak lagi menjabat sebagai lurah di sana. Semata-mata karena Lurah Susan itu non-Muslim (Katholik).

Agustus lalu mereka sudah melakukan demo menuntut dilaksanakannya kehendak mereka itu, di depan Kantor Kelurahan dan di Balaikota. Kehendak mereka itu, atas dasar Konstitusi Negara (UUD 1945) tidak dituruti oleh Lurah Susan, maupun oleh atasannya, Gubernur DKI Jakarta, Jokowi.

Rabu, 25 September 2013, kelompok masyarakat itu kembali turun ke jalan, melakukan demo menuntut hal yang serupa: Lurah Susan harus dicopot, karena dia bukan beragama Islam, yang menurut mereka, akan merusak aqidah. Tidak perduli dengan prestasi Lurah Susan yang dinilai oleh warga termasuk bagus.

Segala cara sudah mereka lakukan, mulai dengan menyebarkan provokasi di masjid-masjid di kelurahan itu, sampai dengan mencari-cari kesalahan Lurah Susan. Fitnah pun bukan hal yang haram bagi mereka. Bahkan ucapan salam Lurah Susan pun dipersoalkan dan dikaitkan dengan agama.

Mereka menyebarkan informasi bahwa Lurah Susan adalah seorang yang tidak nasionalis, karena pada 17 Agustus lalu, kantor Kelurahannya tidak mengibarkan bendera Merah-Putih. Padahal, bendera itu setiap hari berkibar di depan kantor itu, bukan hanya pada 17 Agustus.

Konyolnya, dalam demo kali ini mereka mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara, mengkait-kaitkan agama Lurah Susan dengan semangat juang para leluhur, dan para pendiri Republik ini, mengatai Lurah Susan, dan Jokowi mati rasa, pemaksa kehendak, dan sebagainya. Padahal, justru sikap dan tindakan mereka itulah yang menunjukkan hal demikian.

Apakah seorang nasionalis, yang menghormati leluhur dan para pendiri negara ini,  menghalalkan penyebaran fitnah, dan mempersoalkan seorang pimpinan hanya karena dia bukan beragama Islam?

“Pada tanggal 17 Agustus, itu hari Kemerdekaan bangsa kita. Dan untuk menghormati para leluhur, kita harus memasang bendera Merah-Putih tetapi Lurah Susan tidak memasang bendera Merah-Putih di Kelurahan Lenteng Agung. Banyak warga dan tokoh masyarakat yang mengadu,” ujar Tokoh masyarakat Lenteng Agung, KH. Sholihin Ilyas dalam aksi demo itu di depan Kelurahan Lenteng Agung, Jakarta, Selasa (25/9). – Padahal tidak ada warga yang mengadu, selain dari kelompok dia.

Dengan begitu, lanjut dia, Lurah Susan tidak menghormati perjuangan para leluhur bangsa Indonesia termasuk Presiden Soekarno .

“Ini sama saja Lurah Susan tidak menghormati perjuangan para leluhur kita. Karena mereka telah berjuang untuk memerdekakan bangsa Indonesia termasuk Presiden Soekarno ,” tegas dia.

Haji Sholihin itu lupa, tidak tahu, atau memang tidak mau tahu? Bahwa justru para leluhur kita, para pejuang dan pendiri bangsa ini, termasuk Soekarno adalah para pencetus kesatuan bangsa Indonesia dalam pluralisme, dalam ke-bhinekaan budaya, suku, dan agama, ada satu kesatuan yang memperkuat Republik ini. Atas dasar itulah para leluhur dan para pendiri Republik ini mengproklamasikan negara ini berdasarkan dasar negara bernama Pancasila, dan konstitusi negara bernama Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Lambang Negara pun, Burung Garuda, dilambangkan mengcengkraman pita putih bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika,” yang artinya, berbeda-beda tetapi tetap satu, untuk mempertegaskan kebhinekaan itu.

*

Mencari-cari kesalahan Lurah Susan, tidak ketemu, mereka pun mempersoalkan cara Lurah Susan menyampaikan salamnya kalau bertemu warganya. Ucapan “selamat pagi” dan sejenisnya dipersoalkan, dikait-kaitkan dengan akidah Islam. Provokasinya, dengan mengucapkan salam seperti itu, berarti Lurah Susan telah mengganti ucapan salam orang Muslim (“Assalamualaikum”) dengan salam yang bukan berasal dari orang Muslim. Ini, menurut provokatornya, berbahaya bagi akidah Islam!

Padahal, Lurah Susan karena bukan seorang Muslim, wajar kalau memberi salam dengan cara seperti itu. Lagipula tentu sangat keterlaluan berlebihannya, sudah di luar akal sehat, mengkaitkan ucapan salam itu dengan akidah. Selemah itukah akidah baginya, sehingga suatu cara pemberian salamnya sudah dianggap sedemikian berbahaya?

Nanti, kalau Lurah Susan memakai salam “Assalamualikum” pasti dipersoalkan lagi. Dengan menuduhnya sebagai orang nonMuslim tidak sah memberi salam seperti itu.

Lurah Susan sendiri tidak pernah mempersoalkan tentang cara penyampaian salam ini. Berpikir ke arah itu pun pasti tidak.

“Sekarang ucapan salam di Lenteng Agung sudah diganti,” teriak pendemo Haji Ruslan yang mengaku perwakilan warga RW O2 Lenteng Agung dalam unjuk rasa di depan kantor kelurahan di Lenteng Agung, Rabu (25/9/2013) (detik.com).

Ruslan berapi-api berorasi. Di depan pendemo yang terdiri dari para pria berpakaian muslim dan ibu-ibu berkerudung, dia membeberkan kalau ucapan salam kini sudah diganti.

“Sekarang ucapan salam menjadi good morning, selamat pagi, bonjour,” terang dia.

Ruslan menerangkan, kata-kata itu yang dipakai Susan kala bertemu warga. Dia menyampaikan kekhawatirannya soal ucapan salam itu.

“Ini bisa mengganggu aqidah,” terang dia.

Sikap dan tindakan mempersoalkan seseorang sebagai pimpinan hanya karena agama yang dianutnya, seperti yang ditunjukkan sekelompok warga itu,  jelas justru yang mengingkari semangat juang dan filosofi bangsa para leluhur dan pendiri Republik ini: Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI).

*

Meskipun, Lurah Susan telah melakukan pertemuan dengan wakil para pendemo itu, sikap mereka tak berubah sedikitpun. Tuntutannya tetap: Lurah Susan, karena beragama bukanIslam, harus angkat kaki dari Kantor Lurah Lenteng Agung. Berpegang teguh pada Konstitusi yang memberi hak setiap warganegara untuk mengabdi kepada bangsa dan negara, yang didukung sepenuhnya oleh atasannya, Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, Lurah Susan menyatakan tidak akan memenuhi tuntutan kelompok warga itu.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi:  “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Lurah Susan jelas telah memenuhi ketentuan Pasal ini, sebaliknya, warga yang menuntut dia mundur hanya gara-gara perbedaan agama, jelas tidak memenuhi kewajibannya untuk menghormati Konstitusi, termasuk Pancasila dan hukum negara.

Karena Lurah Susan tetap bertahan, dan Jokowi tidak mau memenuhi tuntutan mereka, kelompok warga itu lalu memaksa Lurah Susan untuk menerima keranda yang sudah mereka bawa sejak tadi, sebagai simbol bahwa Lurah Susan telah mati rasa, dan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, dan Wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah dua pimpinan yang otoriter.

“Keranda tersebut simbol bahwa lurah mati rasa, dan menunjukkan bahwa Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama otoriter dan arogan,” ujar Nasri, orator aksi demo tersebut, di depan Kantor Lurah Lenteng Agung (Kompas.com).

Karena tidak diterima oleh Lurah Lenteng Agung, akhirnya keranda dititipkan kepada Kapolsek Jagakarsa Kompol Herawaty.

Siapa yang telah mati rasa, siapakah yang otoriter, pemaksa kehendak, pengingkar filosofi negara yang diwujudkan para leluhur dan pendiri NKRI ini? Yang sama sekali tidak menghormati Pancasila dan UUD 1945? Anda bisa menilainya sendiri. ***

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

View the original article here



Peliculas Online

0 komentar:

Posting Komentar