Allah Ta’ala berfirman,
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Lukman: 17).
Ayat ini menerangkan mengenai urgensi shalat, pentingnya amar ma’ruf nahi mungkar dan perintah untuk bersabar terhadap gangguan atau musibah. Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan mengapa sampai tiga ibadah ini yang menjadi wasiat untuk anaknya. Yaitu karena tiga ibadah ini adalah induknya ibadah dan landasan seluruh kebaikan. Karena di akhir ayat ini disebutkan,
إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Lihat Fathul Qodir, 5: 489).
Perintah Shalat, Ajakan yang Mulia
Dalam ayat di atas, Lukman berwasiat pada anaknya untuk menunaikan shalat. Yang dimaksud adalah menunaikan shalat dengan memperhatikan batasan, kewajiban dan waktunya (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 56).
Wasiat Lukman ini menunjukkan bahwa ajakan shalat pada anak adalah wasiat yang utama dan amat berharga. Rasul kitashallallahu ‘alaihi wa sallam pun menasehatkan demikian. Bahkan sejak umur 7 tahun, anak seharusnya sudah diajak untuk shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ
“Perhatikanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Jika mereka telah berumur 10 tahun, namun mereka enggan, pukullah mereka” (HR. Abu Daud no. 495. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahihsebagaimana dalam Irwaul Gholil 298).
Jika shalat seorang muslim benar-benar dijaga, maka amalan lainnya juga akan baik. Beda halnya jika seseorang sering melalaikan shalat, untuk amalan lainnya akan nampak tidak beres. Umar bin Khottob pernah mengutarakan suatu nasehat berharga, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat“ (Lihat Ash Sholah, hal. 12).
‘Umar pun menerangkan bahwa tidak disebut muslim orang yang meninggalkan shalat. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abdur Rozaq, dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ketika ‘Umar ditusuk, aku dan beberapa orang sahabat menggotongnya sampai masuk rumahnya. Kala itu ‘Umar masih dalam keadaan pingsan sampai akhirnya tersadar. Ada yang seseorang yang berkata ketika itu, “Kalian tidak akan bisa menyadarkan ‘Umar kecuali dengan masalah shalat”. Kami pun berkata, “Shalat wahai Amirul Mukminin!” Lantas kedua matanya pun terbuka. Lalu ‘Umar berkata, “Apakah para sahabat yang lain telah menunaikan shalat?” Kami pun menjawab, “Iya, sudah”. ‘Umar pun lantas berkata,
أما أنه لا حظ في الاسلام لأحد ترك الصلاة
“Tidak ada bagian dari Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” ‘Umar pun melaksanakan shalat dalam keadaan darah yang mengalir. (HR. Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya 581).
Maksud ‘Umar ini selaras dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Dari Jabir bin ‘Abdillah, shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembeda) antara seorang (muslim) dengan syirik dan kekufuran adalah mengenai meninggalkan shalat” (HR. Muslim no. 82).
Dari Jabir, ia berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ الْكُفْرِ وَالإِيمَانِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pemisah) antara kekufuran dan iman adalah meninggalkan shalat” (HR. Tirmidzi no. 2618. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Rukun Islam diibaratkan dengan empat tiang sedangkan kalimat syahadat adalah pondasinya. Jika tiang shalat itu roboh, maka tentu bangunan Islam akan roboh. Demikianlah ibarat yang menggambarkan pentingnya menjaga shalat.
Beramar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Dalam ayat di atas terdapat pula wasiat Lukman pada anaknya untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Amar ma’ruf adalah memerintahkan pada kebajikan, sedangkan nahi mungkar adalah melarang dari kemungkaran.
Ibnu Katsir berkata, “Amar ma’ruf dan nahi mungkar dilakukan sesuai kemampuan” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 56).
Syaikh As Sa’di berkata, “Mengajak dalam kebaikan harus disertai dengan ilmu terlebih dahulu, begitu pula ketika melarang dari kemungkaran” (Taisir Al Karimir Rahman, 648).
Ibnu Taimiyah menasehatkan bagi yang ingin melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar hendaklah memiliki tiga bekal: (1) berilmu sebelumnya, (2) lemah lembut ketika bertindak, dan (3) sabar terhadap cobaan yang dihadapi nantinya (Lihat Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15-18).
Mengenai bekal ilmu sudah amat jelas karena setiap amalan yang tidak didasari ilmu hanya membawa petaka dan tidak mendatangkan maslahat. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلُحُ
“Barangsiapa yang beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka ia akan membuat banyak kerusakan dibanding mendatangkan banyak kebaikan” (Majmu’ Al Fatawa, 2: 382).
Sedangkan lemah lembut dalam ajakan atau dakwah dicontohkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya jika lemah lembut ada dalam sesuatu, maka ia akan senantiasa menghiasinya. Jika kelembutan itu hilang, maka pastilah hanya akan mendatangkan kejelekan” (HR. Muslim no. 2594, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha).
Sabar terhadap Cobaan
Ketika berdakwah atau mengajak orang lain dalam kebaikan dan melarang dari kemungkaran pasti ada rintangan dan cobaan. Oleh karenanya, bekal ketiga ini sangat diperlukan yaitu bersabar. Hal ini yang diterangkan dalam ayat yang kita bahas saat ini.
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dalam ayat “bersabarlah terhadap cobaan yang menimpamu”, yaitu bersabar ketika amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap setiap cobaan yang menggangu” (Zaadul Masiir, 6: 322).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sudah dimaklumi bahwa dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar pasti ada rintangan. Oleh karenanya, nasehat ini memerintahkan untuk bersabar.” Lalu Ibnu Katsir berkata pula, “Karena sabar ketika disakiti manusia merupakan perkara yang butuh usaha keras” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 56).
Allah memerintahkan kepada para Rasul –dan mereka adalah imam (pemimpin) dalam amar ma’ruf nahi mungkar- untuk bersabar, sebagaimana hal ini Allah perintahkan pada penutup Rasul (yakni Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bahkan perintah ini Allah sandingkan dengan penyampaian kerasulan. Hal ini dapat kita lihat dalam surat Al Mudatsir (surat yang merupakan tanda Muhammad menjadi Rasul), yang turun setelah surat Iqro’ (surat yang merupakan tanda Muhammad diangkat sebagai Nabi). Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ, قُمْ فَأَنْذِرْ, وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ, وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ, وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ, وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah” (QS. Al Mudatsir: 1-7)
Allah membuka surat yang merupakan pertanda beliau diangkat menjadi Rasul dengan perintah memberikan peringatan (indzar). Di akhirnya, Allah tutup dengan perintah untuk bersabar. Yang namanya memberi peringatan (indzar) adalah melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Maka ini menunjukkan bahwa sesudah seseorang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, hendaklah ia bersabar (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 28: 137).
Dari ayat dan pemaparan di atas menunjukkan bahwa setiap yang berdakwah pasti mendapati cobaan dan rintangan. Cobaan tersebut sesuai tingkatan keimanannya. Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa” (HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad 1: 185. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Tugas kita adalah berusaha bersabar, yakin akan ada jalan keluar dan bersandar kuat pada Allah Ta’ala serta yakin akan pahala besar bagi orang yang bersabar.
Demikian faedah wasiat Lukman pada anaknya untuk serial kali ini. Moga bisa dilanjutkan kembali di kesempatan yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar